SEJARAH KERAJAAN PAJAJARAN
Kerajaan Pajajan ya Sebagian orang menyebutnya sebagai Kerajaan Pakuan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai Pajajaran. Tetapi sesungguhnya Pajajaran menunjuk pada dua hal: 1.) Sebagai nama pusat pemerintahan raja-raja Kerajaan Sunda; 2.) Kedua, nama itu menunjuk pada awal pemerintahan baru di mana dua kerajaan bersaudara yang sudah ada sejak lama, (Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) kembali disatukan di bawah kekuasaan satu raja. Kerajaan Sunda dan Galuh itu pada tahun 1482 berada di bawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja.
Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan umat Hindu yang berdiri di wilayah Pakuan (sekarang adalah Bogor), tepatnya di Jawa Barat. Oleh karena itu Kerajaan Pajajaran sendiri juga dengan nama Kerajaan Pakuan yang pada tahun 1030 Masehi pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan Galuh. Pada saat itu orang-orang memiliki kebiasaan untuk menyebutkan suatu kerajaan dengan menggunakan nama Ibu Kotanya, sehingga Kerajaan Sunda Galuh lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Nama dan Berdirinya Kerajaan Pajajaran
Tentang sebutan Pakuan Pajajaran, pada tahun 1921, Poerbatjaraka telah menafsirkannya sebagai istana yang belajar. Ihwal keraton Pakuan Pajajaran, diberitakan juga oleh Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 halaman 204-205, yang kutipannya adalah sebagai berikut: “Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan kedatwan Sang-Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa” Terjemahannya: “Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keratin Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati adalah Sang Prabu Tarusbawa”. Dari dua kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebutan Pakuan Pajajaran adalah merupakan gabungan nama Ibu Kota (Pakuan) yang diikuti oleh nama keraton Sri-Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati (Pajajaran). Bila dihubungkan dengan pendapat Poerbatjaraka tentang istana yang belajar, kemungkinan keraton Sri-Bima-Punta-Suradipati tersebut, adalah merupakan nama untuk 5 buah keraton yang bentuk dan tata-letaknya sama dan berjajar. Dalam sastra klasik sering disebut panca persada atau “lima bangunan keraton”.
Nama keraton sering meluas menjadi nama Ibu Kota, bahkan akhirnya sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadinngrat yang sebenarnya nama-nama keraton, sekarang meluas menjadi Ibu Kota dan juga nama wilayah (Danasasmita, 1983: 2). Berita mengenai digunakannya Pajajaran sebagai nama kerajaan, sudah dimulai pada masa pemerintahan Prabu Susuktunggal, sebagaimana keterangan dari kutipan berikut ini: “Pada waktu Sang Haliwungan berusia 13 tahun, ia diangkat menjadi raja muda Sunda, dengan nama abhiseka Prabu Susuktunggal, baginda memerintah di Pakuan Pajajaran” (Atja; Ekadjati, 1989: 142). Timbulnya gejala tersebut, kemungkinan akibat sering terjadinya perpecahan dan bersatunya kembali, antara Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, dimulai sejak terpecahnya Tarumanegara pada tahun 669 Masehi. Mungkin penduduk Jawa Barat pada waktu itu, tingkat kejenuhannya oleh perang dan damai, sudah mencapai titik kulminasi. Kurang lebih 8 abad peristiwa tersebut berlangsung sehingga lebih senang menyebut Kerajaan Pajajaran daripada dibingungkan oleh dua sebutan (Kerajaan Galu dan Kerajaan Sunda) yang hakikatnya adalah satu. Mungkin mereka merasa solid dalam satu identitas etnis Pajajaran saja.
Gejala tersebut tersisa dalam cerita Pantun dan cerita Babad (termasuk Babad Tanah Jawi), yang mengisahkan Kerajaan Galuh ataupun Kerajaan Sunda, cenderung lebih akrab dengan menyebut nama Kerajaan Pajajaran. Tidak menutup kemungkinan, secara spirit etnis penduduk Jawa Barat pada waktu itu, lebih berkenan disebut sebagai orang Pajajaran. Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat. Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal. Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk. Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.
Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran
Di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja), Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya. Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir maupun musuh batin. Jumlah penduduk Ibu Kota Pakuan mencapai 48.271 orang. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Pakuan merupakan kota besar kedua di Nusantara (Indonesia) setelah Demak yang jumlah penduduknya 49.1197 orang. Pasai, waktu itu kota terbesar ketiga, dengan jumlah penduduknya 23.121 orang. Karya besar Sri Baduga Maharaja diabadikan dalam prassati, baik yang dibuat atas perintahnya langsung, atau dibuat kemudian setelah iameninggal dunia. Prasasti yang dibuat atas perintahnya, adalah prasasti tembaga yang ditemukan di Kabantenan Bekasi sebanyak 5 Lembar.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Sri Baduga Mahraja mengukuhkan status Lemah Dawasasana atau Lurah Kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Sri Baduga Maharaja pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah jalan yang menghubungkan antara Ibu Kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana Sri Baduga Maharaja membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan agar kegiatan-kegiatan agama dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran, memperkuat benteng pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun peraturan atau undang-undang kerajaan. Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaha ini terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti Batutulis dan Prasasti Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga Maharaja membangun seluruh aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun diceritakan dengan pantun dan kisah Babad.
Masa Keruntuhan
Kekuasaan Kerajaan Pajajaran berakhir pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan dipindahkannya Palangka Sriman Sriwacana (Singgasana Raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke-3). Singgasana itu adalah symbol kekuasaan sekaligus menjadi salah satu syarat penting dalam penobatan raja-raja di Pajajaran. Dengan dipindahkannya Palangka Sriman Sriwacana maka tidak ada lagi raja yang dapat dinobatkan di Pakuan. Situasi itu membuat Maulana Yusuf menganggap dirinya sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena ia berada dalam garis keturunan Sri Baduga Maharaja. Kini Palangka Sriwacana disimpan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya “Watu Gilang” yang memiliki arti serupa dengan Sriwacana, yaitu mengkilap atau berseri. Jejak kerajaan inidapat ditelusuri dari naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Carita Waruga Guru. Namun, dari naskah-naskah tersebut, terdapat perbedaan urutan mengenai raja-raja Pajajaran. Menurut cerita, sisa dari para perwira (punggawa), Pajajaran akhirnya mengasingkan diri ke hutan di daerah Lebak, Banten. Keturunan dari perwira itu sekarang biasa kita sebut sebagai orang Baduy.
Masuknya Islam ke Dinasti Prabu Siliwangi
Pengaruh Islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudin membangun kekaisaran Mongol Islam di India.Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timmur Tengah di bawah Turki semakin Berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1435). Di China dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 orang dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Sedang di Cirebon Laksamana Cheng Ho membangun Mercusuar.Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong. Misi muhibah Laksamana Ceng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan bnagunan membanguna sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercususarnya. Oleh karena itu, kedatangan laksamana Ceng Ho disambut gembira oleh Ki Gede Tapa sebagai Syah Bandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gede Tapa sebagai Syah Bandar di Cirebon. Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di Pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan Mercusuar di Pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gede Tapa sebagai Syah Bandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Quro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra-putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh Dzatul Kahfi dan naik Haji. Selain itu faktor terpentingnya masuknya Islam ke Dinasti Siliwangi adalah karena adanya pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, Putri Ki Gede Tapa. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gede Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gede Tapa. Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syah Bandar Cirebon, Ki Gede Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gede Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai Syah Bandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan tali pernikahan.
Sejak abad XV, Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan, Pajajaran mulai kehilangan kekuatan. Akhirnya, kerajaan ini runtuh akibat pemberontakan Cirebon yang ingin melepaskan diri dari Pajajaran dan di sisi lain, adanya penyebaran agama Islam. Keberadaan pedagang Islam yang berdatangan ke kota-kota pelabuhan Kerajaan Sunda ikut berperan dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Mereka bermukim di kota-kota pelabuhan terutama Banten, Karawang, dan Cirebon. Pendirian Kadipaten (kerajaan kecil) di Cirebon pada tahun 1415 oleh Putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang bernama Raden Walang Sungsang, menjadi jalan berkembangnya agama Islam di Jawa Barat. Kadipaten Cirebon merupakan bagian dari kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan-kerajaan tersebut diberi kuasa untuk mengelola seluruh hasil bumi dan kegiatan perekonomiannya dengan syarat menyerahkan hulu bekti (upeti) kepada Maharaja Pajajaran. Ketika Nyi Ratu Subang Larang (Ibu Raden Walang Sungsang) wafat, Raden Walang Sungsang beserta saudara-saudaranya meninggalkan Istana Pajajaran dan memilih untuk menetap di Cirebon bersama Kakeknya, Ki Ageng Tapa (Ki Gede Tapa atau Syeh Bandar Cirebon). Di Cirebon inilah Raden Walang Sungsang dan saudara-saudaranya memeluk agama Islam. Peristiwa ini terjadi setelah mengikuti pesantren yang dimiliki oleh Syekh Dzatul Kahfi. Setelah selesai, Raden Walang Sungsang menjadi Kepala Desa (kuwu) Cirebon. Pada masa jabatan sebagai kepala desa Cirebon, Raden Walang Sungsang mampu memperluas wilayahnya hingga ke daerah Tegal.
Peninggalan Kerajaan Pajajaran
Prarsasti Perjanjian Sunda Portugis
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia.
Prasasti Batu Tulis Bogor
Terletak di Kelurahan Batu Tulis, kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor. Prasasti ini dibuat pada tahun 1533 oleh penerus Kerajaan Pajajaran, Prabu Surawisesa, sebagai penghormatan pada Ayahnya, Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan nama Prabu Siliwangi Prasasti ini dibuat oleh Surawisesa juga sebagai bentuk penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran akibat kalah perang dengan Kerajaan Cirebon. Prasasti Batu Tulis di Kota Bogor, kini masih terletak ditempatnya, diperkirakan ada hubungannya dengan kerajaan Pajajaran. Prasasti tersebut pernah diteliti berulangkali oleh para ahli, diantaranya oleh:
a. Friedrich pada tahun 1853;
b. Holle pada tahun 1867;
c. Pleyte pada tahun 1911;
d. Poerbatjaraka pada tahun 1921; dan
e. Noorduyn pada tahun 1959.
Dari keempat terjemahan tersebut, yang nampak sangat menonjol adalah dalam hal menafsirkan candrasangkala (angka tahun), sama sekali tidak ada kecocokan. Candrasangkala padaakhir tulisan prasasti ditafsirkan, oleh:
a. Freiderich menjadi tahun 955 Saka;
b. Holle menjadi tahun 1055 Saka;
c. Pleyte menjadi tahun 1455 Saka; dan
d. Poerbatjaraka tahun 1255 Saka.
Berdasarkan candrasangkala tersebut, tinjauan historis terhadap Batu Tulis Bogor pun menjadi berbeda-beda. Freiderich mengeluh, “De kunstenaar of workman, die de I inscriptie varvaardigd heft was blijkbaar geen van de bekwamste” (Seniman atau petugas yang mengerjakan prasasti ini jelas bukan yang terbaik). Pleyte membandingkan dengan Kropak 406 Carita Parahiyangan, sehingga ia menyimpulkan bahwa tokoh Prabu Maharaja orangnya identik dengan tokoh Ratu Sunda yang diberitakan oleh naskah Pararaton. Pada tahun 1921, Poerbatjaraka mengemukakkan teorinya dalam tulisan yang berjudul “De Batoe-toelis bij Buitenzorg”, bahwa Sri Baduga Maharaja yang tercantum dalam prasasti Batu Tulis Bogor adalah Raja yang gugur di Bubat. Maka, dari sejak tahun 1921 itulah, bahan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah mengisahkan tentang gugurnya Sri Baduga Maharaja di Bubat pada tahun 1357 Masehi.
Daftar Rujukan
• Iskandar, Yoseph. 2013. Sejarah Jawa Barat, cet- 11. Bandung: CV. Ceger Sunten.
• Purnama Sari, Dina; dkk. 2011. Ensiklopedia Jawa Barat, cet-1. Jakarta: PT Lentera Abadi.
• Author Admin. Sejarah Kerajaan Pajajaran-Asal Muasal Kerajaan Sunda Pakuan, (Online). Diakses pada hari Rabu, 10 Februari 2017. Melalui: http://www.portalsejarah.com/sejarah-kerajaan-pajajaran-asal-muasal-kerajaan-sunda-pakuan.html
• Ilham Aufadhuha. 7 Benda dan Bangunan Peninggalan Kerajaan Pajajaran, (Online). Diakses pada Hari rabu, 10 Februari 2017. Melalui: http://ilhamblogindonesia.blogspot.co.id/2013/10/7-benda-dan-bangunan-peninggalan.html
• Kidnesia. Kerajaan Pajajaran, (Online). Diakses pada hari Rabu,10Februari 2017. Melalui: http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Archive/Sejarah-Indonesia/Zaman-Pra-Kolonial/Tahun-1400-1499/Tahun-1482-Kerajaan-Pajajaran#